Ketua Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI), Fabby Tumiwa memberikan pihaknya berusaha untuk menimbulkan energi surya selaku prime mover atau pelopor utama dalam transisi EBT di Indonesia. Ia menilai, energi surya memiliki aneka macam keistimewaan untuk sanggup menggerakkan energi terbarukan di Tanah Air.
"Kami tidak menafikan banyak energi terbarukan, namun yang banyak dan sanggup cepat untuk memenuhi kebutuhan energi kita dalam rangka meraih target kebijakan energi nasional 23% EBT untuk meminimalisir emisi gas rumah beling, PLTS itu yang paling cepat," jelas Fabby dalam Press Luncheon Ketua Umum dan Pengurus AESI di Jakarta, Selasa (1/6/2021).
Lebih lanjut, ia memaparkan keistimewaan energi surya yang mempunyai potensi menjadi prime mover EBT di Indonesia. Pertama, energi surya ada di seluruh Indonesia tanpa terbatas, mulai dari Sabang hingga Merauke. Dari pukul 6 pagi hingga 6 sore sinar matahari selalu ada untuk mampu mendapat energi surya.
Baca Juga : harga sedot wc medan
Tak hanya itu, ia juga menyampaikan energi surya relatif gampang diakses di mana saja. Sebab teknologinya modular, kecil, juga mampu dipersonalisasikan. Teknologinya juga disebut-sebut mudah dan cepat untuk di-install.
"Artinya jika Anda butuh 1kW mampu pasang segitu, butuh 10kW juga sanggup pasang. Kan teknologi PLTS itu basisnya modul surya yang mengkonversi sinar matahari menjadi listrik," jelasnya.
Fabby pun menilai PLTS merupakan bentuk demokratisasi energi pada penduduk , sebab merupakan siapa saja dari segala golongan mampu memakainya. Ia juga mengungkap apabila investasi PLTS kian terjangkau dari waktu ke waktu.
"Kalau bicara sepuluh tahun lalu, harga PLTS untuk 1 kW masih meraih lebih dari US$1.500 per kilo watt, harga sel surya di atas US$ 1 per watt. Hari ini jika kita lihat data, investasi 1kW panel surya saja telah di kisaran antara US$ 400-500, telah turun drastis. Kaprikornus jauh lebih terjangkau," ujarnya.
Baca Juga : sedot wc buntu makassar
Di tahun 2017, lanjut Fabby, pihaknya turut menjadi potongan dari deklarasi Gerakan Nasional Sejuta Surya Atap bareng Kementerian ESDM, Kementerian Perindustrian, Masyarakat Ekonomi Terbarukan Indonesia (METI), dan lain sebagainya. Gerakan ini menargetkan adanya 1 juta pengguna PLTS Atap di 2025.
Fabby mengungkap progres gerakan tersebut masih jauh dari sasaran. Akan namun, di kurun kepengurusan AESI hingga 2024, beliau menargetkan 1 juta PLTS Atap di Indonesia sanggup tercapai.
Mengutip data Indonesia Energy Transition Outlook dari Institute for Essential Services Reform (IESR) di 2020, angka pengguna PLTS Atap di berbagai sektor terus bertambah dibanding tahun sebelumnya. Adapun jumlahnya terbagi menjadi sektor hunian/perumahan sebanyak 2.352, bisnis sebanyak 196, industri sebanyak 17, pemerintah sebanyak 38, dan sosial sebanyak 170.
Fabby pun menyampaikan sampai kini, angka pengguna PLTS Atap yang dihimpun dari data PLN kurang lebih menjangkau 3.500 pengguna PLTS Atap yang ialah pelanggan PLN dengan net metering. Ia menganggap jumlahnya mampu lebih besar, karena merupakan banyak pengguna PLTS Atap dari pelanggan PLN yang tidak tersambung jaringan PLN (off grade).
No comments:
Post a Comment